Selasa, 05 Agustus 2014

Baliau Batu Ampa, Lupa Jalan ke Batu Ampa

OLEH Yusriwal, peneliti di Fakultas Sastra Unand

Kompleks Pesantren Batu Ampa 
Ada sebuah pameo, “Tidak ada tanaman yang dapat tumbuh di Batu Ampa (hamparan batu). Namun, sebuah nagari yang bernama Batu Ampa, tidak hanya dapat menghidupi tumbuhan pertanian, tetapi juga menumbuhkan sejarah.
Batu Ampa dalam bahasa Minangkabau berarti “hamparan batu”. Memang, dulunya daerah ini adalah daerah bebatuan. Setiap mencangkul tanah ditemukan batu-batu. Oleh sebab itulah, disebut Batu Ampa. Namun, sekarang nagari ini sudah menjadi daerah pertanian yang cukup subur.

Batu Ampa adalah sebuah nagari yang tenang, sejuk, dikelilingi bukit-bukit di bagian utara, barat, dan selatan. Sawah-sawah dan ladang-ladang yang terhampar adalah sumber kehidupan penduduk di sana. Oleh sebab itu, nagari yang termasuk wilayah Kabupaten Limo Puluah Koto ini dikenal sebagai penghasil tomat dengan kualitas baik.
Penduduknya terkenal ramah dan sangat terbuka terhadap tamu yang datang berkunjung. Bak kata pepatah Minangkabau, masyarakat Batu Ampa panyantun ka alek nan tibo, paibo ka dagang nan lalu. Maksudnya, masyarakat Batu Ampa sangat menghormati tamu dan menyayangi perantau. Batu Ampa adalah daerah agraris dengan penduduk yang ramah dan hidup dalam kesederhanaan.
Itulah gambaran umum yang terkesan ketika pertama kali datang ke Batu Ampa. Kesan seperti itu semakin dalam ditambah dengan panorama alamnya nan elok. Jika datang dari Bukittingi menuju Payakumbuh, setelah melewati Baso dan PLTA Batang Agam, akan bertemu dengan sebuah perempatan. Dari perempatan belok ke kiri, melalui jalan berliku dan sedikit menurun di antara sawah-sawah, ladang tomat, dan ladang cabai, lebih kurang dua menit perjalanan dengan mobil, akan bertemu pintu gerbang bergonjong. Itulah pintu masuk utama untuk dapat sampai ke Nagari Batu Ampa.
Dari pintu gerbang tersebut akan terlihat deretan sawah berjenjang, bukit-bukit yang menghijau, rumah-rumah penduduk, dan yang paling menonjol adalah sebuah bangunan tinggi yang terletak di tengah beberapa bangunan. Bangunan-bangunan tersebut adalah Komplek Perguruan Syekh Abdurrahman atau Baliau Batu Ampa, dan bangunan tinggi tersebut adalah menara rumah kediaman pimpinan perguruan tersebut.
Jika masuk lebih dalam, ternyata perguruan tersebut mempunyai sejarah yang panjang, karena melahirkan ulama-ulama terkenal, negarawan, dan mempunyai hubungan dengan sebuah kerajaan. Syekh Salim Batu Bara atau lebih dikenal dengan Baliau Andalas, Syekh Ibrahim Kubang, dan Syekh Sulaiman Arrasuli Candung belajar di perguruan ini. Proklamator RI Bung Hatta pernah dididik dan dibesarkan di sini. Salah seorang cucu dari pimpinan perguruan ini, menurut H. Syahrani Dt. Rajo Reno, adalah permaisuri Sultan Ibrahim dari Pagaruyung.
Itulah sekelumit gambaran Nagari Batu Ampa, daerah “hamparan batu” yang subur, tidak hanya menghidupi tumbuhan pertanian, melainkan mampu melahirkan dan menumbuhkankan sejarah.
Pesantren Al-Manar
Menara Pesantren Batu Ampa
Al-Mannar adalah pondok pesantren yang menempati salah satu bagian dari komplek perguruan Syekh Abdurrahman Batu Ampa. Didirikan pada tahun 1963 oleh Damrah, Pak Etek (adik ayah) Bung Hatta.
Pertama mengembangkan Islam, Syekh Abdurrahman tidak mempunyai tempat khusus. Pertama mengajarkan Islam, dilakukan di kebun tebunya. Kemudian, setelah mendapat perhatian dan simpati dari masyarakat Batu Ampa, sebuah kaum dari suku Caniago mewakafkan tanahnya. Di atas tanah tersebut Syekh Abdurahman mendirikan surau, sebagai tempat mengajarkan agama Islam secara resmi.
Tempat tersebut berkembang, seiring dangan berdatangannya orang-orang yang ingin belajar kepada Syekh Abdurrahman. Karena banyaknya murid yang belajar dan datang dari berbagai tempat, sehingga di sekitar surau tersebut, menurut keterangan H. Syahrani Kalis Dt. Rajo Reno, pernah berdiri 80 surau, tempat tinggal para murid yang belajar di sana. Tercatat nama-nama surau antara lain: Surau Mungka, Surau Payobasuang, Surau Sariak Laweh, Surau Simabua, Surau Taeh, Surau Lintau, Surau Sungai Jangek, Surau Solok, Surau Canduang, Surau Padang Tarok, Surau Pasisia, Surau Painan, Surau Guntuang, Surau Tilatang, Surau Kamang, Surau Batipuah, Surau Limo Koto, Surau Bangkinang, Surau Muko-muko, dan Surau Koto nan  Ampek. Nama-nama surau sesuai dengan nama daerah asal murid yang menempati surau tersebut. Murid-murid yang berasal dari daerah Muko Muko akan tinggal di surau Muko Muko.
Dilihat dari nama-nama surau, murid-murid Syekh Abdurrahman tidak hanya berasal dari daerah sekitar Batu Ampa, melainkan melampui daerah Sumatera Barat, yaitu Riau dan Bengkulu. Artinya, Syekh Abdurrahman dikenal oleh masyarakat di luar Sumatera Barat.
Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Syekh Abdurahman adalah sistem halaqah, yaitu guru memberikan pelajaran sambil duduk bersila, dikelilingi oleh murid-muridnya. Menurut Azyumardi Azra (dalam buku Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi: 2003)  sistem pendidikan seperti yang diterapkan Syekh Abdurrahman, dapat dikatakan sudah cukup maju pada masa itu. Setelah Syekh Abdurrahman meninggal, sistem seperti itu masih dilanjutkan oleh putranya, Syekh Ahmad Hasan. Syekh Ahmad Hasan cukup terkenal karena dianggap salah satu dari tujuh ahli kira’ad dan pernah belajar di Mekkah, Mesir, Turki, dan Palestina.
Meninggal pada tahun 1924, Syekh Ahmad digantikan putranya Syekh M. Arifin. Syekh ini adalah penggagas Kongres Perti I di Sumatera Barat. Syekh Arifin meninggal dalam usia 55 tahun, empat tahun sepeninggal Syekh Ahmad.
Pada masa penjajahan Jepang, perguruan ini mengalami kemunduran. Saat itu pimpinan perguruan berada di tangan Dt. Ahmad. Dalam masa pergolakan kegiatan perguruan ini sama sekali terhenti karena lebih cenderung mengajarkan ilmu tarikat.
Mulai tahun 1963, sistem pendidikan halaqah diganti dengan sistem sekolah modern yang diprakarsai oleh Damrah, Pak Etek (adik ayah) Bung Hatta. Mulai tahun itu, perguruan tersebut diberi nama Al-Mannar. Dengan sistem baru ini, murid-murid dibagi dalam beberapa kelas, seperti sistem yang berlaku di MTsN dan MAN. Sistem ini dipertahankan sampai sekarang. Sistem tingkat yang digunakan adalah sistem 6 tingkat. Murid yang diterima adalah tamatan Sekolah Dasar. Tamatan Al-Mannar setara dengan tamatan SMU. Namun, jika ingin, setelah kelas tiga murid dapat mengikuti ujian persamaan SLTP, begitu juga setelah tamat kelas 6 murid-murid juga dapat mengikuti ujian persamaan SMU.
Al-Mannar saat ini dipimpin oleh pelanjut Syekh Abdurrahman, yaitu H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno. Menurut keterangannya, murid-murid Al-Mannar saat ini hanya terdiri atas anak-anak Batu Ampa sendiri. Di samping itu, dia juga menyampaikan keprihatinannya berkaitan dengan kelangsungan hidup Al-Mannar. Guru-guru yang mengajar hanya dibayar dengan SPP dari murid-murid. Tidak ada sumber dana tetap selain SPP yang dapat digunakan untuk menambah gaji guru, pengadaan bahan-bahan pendukung pengajaran, dam pembenahan sarana pendidikan lainnya. Perpustakaan pun sampai saat belum ada.
Beberapa bulan terakhir ada sumbangan dari koperasi di Batu Ampa, sebanyak Rp300.000 per bulan. Namun tidak banyak membantu penyelesaian masalah karena minimnya dana tersebut. Dari badan-badan pemerintah, bantuan tetap belum ada, yang bersifat insidentil kalaupun ada tetap tidak banyak membantu.
Ironis memang. Sebuah lembaga pendidikan yang dirintis oleh seorang ulama besar, pernah menghasilkan ulama-ulama besar, bahkan proklamator RI pernah mendapatkan pendidikan dan besar di sini, mengalami nasib seperti itu. Dulu, semasa Bung Hatta masih hidup, ia masih menyempatkan diri datang sekali setahun dan beliau sering memberikan bantuan dari uang pribadinya. 
UBH Berutang
Melihat kanyataan tersebut, apa yang telah dilakukan Universitas Bung Hatta, sebuah lembaga pendidikan yang menurut masyarakat Batu Ampa dan pengurus Al-Mannar mempunyai kaitan erat dengan kelangsungan hidup pesantren tersebut? Menurut Wali Nagari Koto Tangah Batu Ampa, Wahyu Santoso SH yang masih merupakan cucu dari Bung Hatta, Universitas Bung Hatta berutang kepada Al-Mannar, karena menggunakan nama Bung Hatta yang merupakan cucu-cucu dari perintis perguruan Al-Mannar, yaitu Syekh Abdurrahman. Hal itu diperkuat pula oleh H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno (pimpinan Al-Mannar) dan Syahrisman Dt. Iyang Bosa (anggota DPRD 50 Koto), yang menyatakan bahwa selayaknyalah Universitas Bung Hatta memberikan perhatian kepada Al-Mannar.
Dikukuhkan Kaampek Suku
Syekh Abdurrahman lahir pada tahun 1783 di Batu Ampa. Ketika berumur 15 tahun, ia berangkat ke Galogandang, sebuah daerah yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Tanah Data, untuk menuntut ilmu agama. Setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya, ia berangkat dengan berbekal tiga lembar uang VOC, beberapa lembar pakaian, dan sebuah buntil beras.
Setelah beberapa tahun di Galogandang, ia berangkat ke Mekkah ditemani gurunya dari Galogandang tersebut untuk memperdalam ilmu agama. Tidak lama setelah gurunya meninggal di Mekkah, ia kembali ke Sumatera, menemui Syekh Abdurrauf di Tapak Tuan, Aceh. Delapan tahun di Tapak Tuan, ia kembali berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu tarikat yang sudah dipelajarinya.
Lupa Jalan ke Batu Ampa
Ketika berusia 63 tahun, barulah ia benar-benar pulang ke Batu Ampa, namun terlebih dahulu singgah ke Galogandang. Dalam perjalanan dari Galogandang ke Batu Ampa, sesampai di daerah Barulak, ia ragu. Ia tidak ingat lagi dengan jalan menuju Batu Ampa. Karena itu, melihat seorang perempuan yang hendak menjual padi, ia menanyakan jalan yang menuju ke Batu Ampa. Perempuan itu menanyakan namanya. Setelah diberitahu, perempuan tua itu curiga dan meminta Abdurrahman memperilhatkan betisnya. Setelah melihat tanda di betisnya, si perempuan tua langsung memeluk Abdurrahman. Ternyata perempuan itu adalah ibu kandungnya.
Bersama ibu itu, ia sampai di Batu Ampa. Namun, apa yang dilihat di Batu Ampa jauh dari harapannya. Walaupun masyarakat Batu Ampa sudah beragama Islam, namun kehidupan keseharian mereka belum mencerminkan agama yang dianut. Masyarakat masih hidup dalam budaya tahyul, laki-laki gemar berjudi dan menyabung ayam, bahkan kebanyakan masyarakat masih terbiasa memakan tikus, kalong, dan kelelawar.
Melihat kenyataan tersebut, Abdurrahman bertekad akan memperbaiki sikap beragama masyarakat. Hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Baginya, tugas tersebut bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah amanah yang mau atau tidak, harus dilakukan. Ditambah dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang di jalan benar, ia memulai kerjanya.
Pada saat memulai, ia tidak mempunyai tempat khusus untuk menyampaikan ajarannya. Sementara mendapat tempat, ia membuat kebun tebu. Setelah tebu-tebu di ladangnya besar, anak-anak Batu Ampa yang sering menggembala kerbau, sapi, dan kambing, pada suatu kali tertarik dan memintanya kepada Abdurrahman. Ia mengabulkan permintaan mereka. Anak-anak gembala tersebut dikumpulkan, tebu diambil, dikupaskan, dipotong-potong, lalu dibagikan. Akan tetapi, mengupasnya dimulai dari ujung. Setelah masing-masing anak gembala menghabiskan potongan tebu yang diberikan, Abdurrahman bilang bahwa potongan tebu selanjutkan akan lebih manis jika anak-anak tersebut sebelum memakannya membaca “bismillahirrahmanirrahim.” Anak-anak gembala tersebut mengikuti anjuran Abdurrahman, ternyata memang lebih manis dari sebelumnya.
Begitulah salah satu cara Abdurrahman mengajarkan Islam. Cara lain adalah dengan membina kedekatan. Ketika seorang yang suka menyabung ayam meminta ayam aduannya didoakan supaya bisa menang, Abdurrahman tidak menolak. Dipegangnya kepala ayam itu sambil berdoa kepada Allah, agar anak muda tersebut dituntun ke jalan yang benar. Keesokan harinya, si anak muda datang kembali mengucapkan terima kasih karena ayam aduannya menang di gelanggang. Sejak itu, ia rajin bertandang. Kedekatan ini dimanfaatkan oleh Abdurrahman untuk menanamkan paham keislaman.
Dengan metode pendidikan seperti itu, ditambah kepribadian Abdurrahman yang menarik, serta budinya yang santun, akhirnya banyak orang yang tertarik untuk belajar agama kepadanya. Kepada murid-murid yang belajar agama Abdurrahman tidak pernah meminta bayaran, semuanya karena Allah.
Abdurrahman sangat beruntung karena dikaruniai oleh Allah umur panjang. Ia meninggal dalam usia 122 tahun. Artinya, selama 63 tahun menuntut ilmu dan mengabdikan diri dalam pendidikan dan pengembangan Islam selama 59 tahun.
Abdurrahman mempunyai 5 orang istri, dikarunai 8 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Salah seorang anak laki-lakinya, yang kemudian dikenal dengan Syekh M. Djamil, menikah dengan orang Bukittinggi, melahirkan Muhammad Attar (Drs. Muhammad Hatta) proklamator RI. Seorang lagi putranya, yaitu Syekh Muhammad Thaib atau Syekh Limo Koto, menikah dengan perempuan Batipuah, melahirkan seorang perempuan bernama Rasyidah. Cucunya ini kemudian menikah dengan Sultan Ibrahim dari Kerajaan Pagaruyung.
Tuk Oyah
Selain dikenal sebagai Baliau Batu Ampa, Syekh Abdurahman juga akrab dipanggil Tuk Oyah. Dulu, murid yang belajar kepada Syekh Abdurrahman ada yang memanggil Datuk namun tidak jarang pula yang memanggil Oyah, yang berarti Ayah. Akhirnya penyebutan menjadi kacau, sehingga tidak tahu lagi sejak kapan Syekh Abdurrahman dipanggil Tuk Oyah.
Syekh Abdurrahman atau Tuk Oyah dikukuhkan menjadi syekh berdasarkan kesepatan kaampek suku atau keempat pangulu pucuak yang ada di Nagari Batu Ampa. Pengukuhan syekh oleh kaampek suku tersebut, disebabkan syekh merupakan tempat bertanya bagi pangulu di Batu Ampa. Syekh dianggab sebagai lembaga konsultatif para pangulu. Fungsinya sama dengan Rajo Ibadat dalam kerajaan Minangkabau. Sakaligus, hal itu membuktikan eratnya kaitan antara adat dan agama.
Tradisi tersebut berlajut sampai sekarang. Syekh yang memimpin perguruan ini harus berasal dari keturunan Syekh Abdurrahman (keturunan Syekh Abdurrahman sekarang disebut sebagai Bani Abdurrahman) dan dikukuhkan oleh kaampek suku Nagari Batu Ampa. Generasi penerus Syekh Abdurrahman sekarang adalah H. Syahrani Dt. Rajo Reno, akan dikukuhkan menjadi Syekh atau Tuk Oyah pada 8 Agustus 2002. Upacara pengukuhan—mengikut tradisi sebelumnya—akan dilaksanakan di Masjid Ar-Rahman yang juga akan berganti nama dengan Surau Syekh Abdurrahman atau Surau Baliau Batu Ampa. Dengan demikian H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno akan menjadi Syekh H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno. *
Beberapa bagian dalam tulisan ini berdasarkan keterangan H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno, Wahyu Santoso SH, dan Syahrisman Dt. Iyang Bosa.
Sumber: Majalah Analisis dan Pemikiran SAGA, No 3 Agustus 2002


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...